Thursday, October 28, 2010

Hush, Don't You Cry :)

Hari ini gue lagi mulai beres-beresin file-file di laptop dan hard disk. Mann, banyak banget filenya XD Si bodoh lagi-lagi berbuat konyol dengan membiarkan waktu mengendap begitu lama untuk merapikan ini semua… hehehe…

Gue memang tipe orang yang melankolis dan suka menyimpan kenangan. Beda banget sama nyokap yang efisien dan ringkas, gue suka menyimpan hal-hal konyol, koleksi tiket nonton di 21, tisu bertulisan tangan cowok yang pernah gue suka, termasuk file-file digital dari orang-orang yang gue favoritin. Yah, tentunya bukan seperti si artis bikin heboh itu lah, jenis file2 digitalnya, sakit jiwa apa… tapi hal-hal kecil, memento, surat-surat yang pernah gue kirim, sms… (seriously!), dst dst.

Nah, dalam dua kisah cinta besar yang pernah gue alami, bisa gue ambil kesimpulan, ketika putusnya baik-baik, mengenangnya kembali bikin hati tenang. Untungnya sampai sekarang pun kalau ketemu sama orangnya, gak masalah, dan bisa jadi temen normal lagi. Nah, kalau putusnya jelek, penuh degradasi diri sendiri dan bikin lo jatuh terpeleset, terpental dan sulit bangkit, mengingatnya kembali bikin gak enak hati sendiri. Bahkan sampai sekarang pun, gue gak berminat ketemu lagi. Rasanya, ya sudahlah, gue cukup tahu dia baik-baik saja di dunia, tapi gue gak perlu harus bertemu langsung atau kontak dengan cara apa pun. Makasih banyak, tapi gue masih sayang sama diri sendiri juga :P

Gue gak sengaja ngecek-ngecek file untuk dikategorikan, dan baca salah satu surat yang pernah gue tulis. Dan rasanya, setelah selesai baca, gue pengen banget memeluk diri gue sendiri dua tahun lalu itu, erat-erat, dan bilang, semuanya bakal baik-baik saja. Hati lu bakal sembuh, dan lu bakal menemukan kebahagiaan yang berlipat ganda. Teman-teman yang bikin lo ketawa, bahagianya ngerasain punya duit sendiri (gue tau ini konyol, tapi bisa jajan pake duit sendiri itu rasanya lega… hahaha), dan yang paling penting, rasa bahagia di hati.

Ada beberapa orang yang bisa membaca makna dari tulisan-tulisan gue. Dulu waktu gue masih di ITB, a great reader of my writings said bahwa gue seringnya mengungkapkan kegelisahan dan kerinduan untuk ‘dipapah’ dalam hidup. In a good way, of course. Tapi gue paham maksudnya, betapa gue saat itu begitu menggebu-gebu untuk menemukan ‘the one’ dan merelakan diri gue untuk merasakan semua susah dan rasa tak senang agar si orang yang gue suka bahagia.

Tapi, saat temen gue yang lain berkomentar tentang tulisan-tulisan gue sekarang, dia bilang, tulisan gue ‘are infused with happiness’.

Dan gue bakal jujur, bahwa gue gak selalu merasa bahagia, itu pasti. Ada saatnya ketika gue down, gelisah, bingung mencari arah, tapi akhir-akhir ini, rasanya perasaan gue lebih didominasi dengan hal-hal yang bahagia, dan membahagiakan. Nge-fans sama orang-orang lucu nan pintar nan baik hati nan punya senyum-senyum termanis di dunia. Nge-fans sama obrolan-obrolan panjang tentang hal-hal yang bikin semangat dalam menjalani hidup. Lagu-lagu yang mellow pun berkurang dan digantikan oleh these happy toned, positively charged songs.

The world my revolved around me with this energy of negativity, they say. But for my own little world, I’m making a palace of happiness. Of simplicity. Of making the best out of anything. And all of you are invited in J

Friday, October 22, 2010

In front of the screens

Sitting in front of my laptop and the big screen of the PC at my home. Finishing three short essays. Starting some ideas on a special project. A bit kuch kuch ho ta hai for a result of an interview. Kangen whoever aa it is out there somewhere, and sending him some telepathy, I want to see you with the brightest smile ever on my face.

Feeling fine doing things I am doing.

:)

Thursday, October 21, 2010

Kapan nikah? Kapan nikah? Kapan nikah?

Sejujurnya, ketika gue berusaha melihat posisi perempuan di mata budaya Indonesia sekarang, posisinya ya agak-agak serba salah juga ya? Gue entah kenapa merasa tumbuh dan terbiasa dengan kepercayaan bahwa seorang perempuan itu sudah diperjuangkan oleh para feminis untuk bisa memperoleh posisi yang lebih 'kuat' di masyarakat. Tapi gue juga percaya bahwa sebagai perempuan, dia juga memiliki 'hak' untuk membesarkan keluarga dan memberikan yang terbaik untuk keluarga yang dia cintai.

Gue percaya bahwa setiap orang punya hak untuk memilih, ingin jadi wanita karir, ingin jadi ibu rumah tangga, atau berusaha mengkompromikan antara keduanya. Dan udah banyak orang yang berusaha menjawab hal ini, bahkan menjalaninya, tapi bukan itu yang ingin gue sampaikan. Yang ingin gue sampaikan adalah, tentang pentingnya memiliki kesadaran untuk memilih.

Di dalam kebudayaan Indonesia, bahkan setelah 2-3 hari pulang pun, kesadaran untuk memilih memang bukan hal yang mudah, terutama ketika anak muda selalu dikelilingi dengan stigma harus menikah cepat (lebih awal lebih baik) dan bahwa perempuan itu gak perlu sekolah tinggi-tinggi atau kerja sukses-sukses, karena toh akhirnya menikah dan ada di 'balik' laki-laki. Ever since 3 years ago, I have never underestimate what marriage is, how tough it can be, how love can come and go (and apparently come back), and how huge the responsibility on being a parent is.

Ya, mungkin orang bisa mencibir gue bisa bilang begini karena gue masih single, tapi gue tetep merasa, untuk menikah itu pilihan (kita diskusikan ntar tentang masalah pilihan ini). Gue merasa bahwa setiap wanita butuh memperkaya dirinya sendiri untuk menjadi seorang wanita yang tegar, yang yakin akan keberadaannya di dunia itu adalah hal penting (bukan sombong, tapi menghargai diri sendiri), karena toh, dia harus menjadi mitra hidup laki-laki lain yang mudah-mudahan bukan orang sembarangan, toh?

Tumbuhnya karakter seseorang itu memang beragam caranya, dan pasti gak sama. Ada yang sekolah tinggi-tinggi, melihat dunia, bertemu beragam manusia, karakter, budaya, lalu ia mungkin bisa jadi manusia yang lebih baik. Ada yang harus mengalami rentetan ujian emosional dan belajar bangkit dalam proses perbaikan diri. Ada yang bekerja, mengenal karakter berbagai macam manusia, dan mengambil yang terbaik dari hal-hal yang dialami. Dan tidak menutup kemungkinan, menikah dan mengalami berbagai hal adalah proses pendewasaan dirinya.

Tapi gue ingin menekankan pentingnya proses pendewasaan pra-pernikahan. Pentingnya merasa nyaman hidup di bawah kulit sendiri tanpa harus mengubah hal-hal yang diharapkan oleh orang lain, tapi bukan murni keinginan diri sendiri. Seperti tuntutan untuk menikah hanya karena itulah (bagi sebagian orang) jalan terbaik untuk menjalani kehidupan. Jujur gue memang butuh disembuhkan dari skeptisisme gue tentang pernikahan, tapi gue percaya orang yang tepat akan membuat gue feel totally fine to walk with him in life, tapi itu akan merupakan keputusan yang diambil bukan karena 'sudah umur', 'belom tentu kesempatan lebih baik datang', atau karena semua tante yang lo punya, bahkan orang asing yang lo temuin di jalan, merasa lo setengah manusia hanya karena lo dah (cukup) berumur dan masih single! Seolah apapun pencapaian yang elu dapatkan sepanjang umur lo gak berarti apa-apa kalau lu single dan gak merasakan hidup berkeluarga.

Everyone of us, deserves to feel free, to feel that we make something in life. To know that we know who we are, what we want to do, and we try our best shot on them.

Untuk paragraf terakhir ini, gue terinsipirasi oleh banyak orang. Percakapan-percakapan yang gue lewati, pengalaman hidup yang gue lihat di manusia-manusia sekeliling gue, dll. Tapi menikah itu adalah karena lo menemukan orang yang bikin hati lo tenang. Karena lo menemukan orang yang bikin elu menjadi diri lu sendiri ketika dia ada. Yang menerima semua yang aneh, yang ajaib, yang normal, segala sesuatu yang ada di diri lu. Memang klise, tapi manusia terbaik untuk diri lu adalah yang bisa menerima lu apa adanya, vice versa. Dan orang bisa menikah untuk berbagai macam alasan lainnya, tapi semoga, ya Tuhanku sayang, kalau tiba waktunya buat gue, biarlah ini yang jadi alasannya. Dan biarkan ini juga jadi alasan buat dia. Let me choose to marry someone someday, just because nobody else in this world can be him. And let him choose me, because nobody else in this world can be me. Amin.


Friday, October 15, 2010

It's called living, honey!

Oke, this is for the couple of days which make me think and think and think.

People thought that all things must be done in the right time, and so they wait, they wait and they wait until 'pops', the moment's through.

Here what I shall say. There is no 'right time'. We make the 'right time'. We do it after some consideration, but we jump to the risk. If we wait, no time will be good enough. We make decisions in our life. We make things we thought couldn't happen, happen.

It's called living, honey!

Wednesday, October 13, 2010

Put it in the pocket, save it, save it.

Rasanya takjub sendiri, berada dalam posisi kurang lebih dua tahun setelah menyelesaikan that bloody draining relationship which I had, dan sampai pada apa yang gue rasakan saat ini. Gue punya kesulitan untuk mendefinisikan apa yang sebenernya terjadi saat itu, tapi setelah gue analisis beberapa kali, dan tadi malem diobrolin lagi bareng Aneta (plus contoh kasus di orang lain) mungkin gue bisa melihat hal ini dengan lebih objektif.

Bentuk hubungan antar manusia itu memang berbeda-beda. Dulu, yang gue alami itu kira-kira seperti ini. Si seseorang ini bilang kalau dia suka sama gue. Walaupun awalnya gue gak merasakan sesuatu yang lebih, tapi upayanya, kata-kata yang dia sampaikan, harapan yang dimunculkan di hati gue, akhirnya bikin gue jatuh sayang, dan voila, jadilah. Inilah anehnya, gue itu sebetulnya sudah beberapa kali baca hubungan yang sehat, baik dan benar itu seperti apa. Gue termasuk orang yang percaya dan yakin tentang diri sendiri, dan pentingnya untuk menjadi mandiri, untuk jadi perempuan yang berdiri di atas kaki sendiri, dst, dst.

Tapi yang terjadi adalah, gue akhirnya membangun diri gue di sekitar orang ini, dan dia menjadi pusat semesta gue saat itu. Horrific, isn't it? But trust me, it can happen, and it did happen. Efek buruk dari hubungan yang seperti ini sebetulnya simpel. You loose yourself. Hal paling penting yang lu lakukan adalah jangan sampai orang ini marah, atau kecewa sama apa yang lu lakukan. Gue entah bagaimana jadi mengiringkan diri gue berjalan di sepatunya, mengubah diri gue seperti dia, melakukan hal-hal yang gue tau dia suka, walau ketika itu selesai, gue sadar itu bukan gue sama sekali.

Scary huh? Gue kira, gue cuma sendiri. Tapi seiring perjalanan, terutama dua tahun belakangan, gue menyadari kalau bukan hanya gue yang mengalami hal seperti ini. Ini bukan masalah siapa yang salah, it takes two to build a relationship, but it also takes two to ruin it. Tapi, membuat orang lain menjadi pusat kehidupan lo adalah sebuah keputusan yang sangat salah. Paling mengerikan adalah ketika suatu hari lu sadar kalau lu gak kenal sama diri lu sendiri, plus orang yang lu kira bakal ada di sisi lu selamanya tiba-tiba mengambil jarak untuk kemudian beranjak lebih jauh. Imagine how world just crumbles then.

Yah, sejujurnya, gue pikir, mengalami memang lebih besar efeknya daripada sekedar tahu. Dan gue kalau disuruh memilih mau atau gak mengalami ini, gue akan tetap memilih untuk menjalaninya, walau efeknya gue musti nangis darah, lost my friends, those fights I hate to remember, feeling that strange sadness on my graduation day, tetep aja, akan gue jalani kalau memang gue butuhkan untuk membuat gue lebih dewasa secara emosional.

Setelah hubungan yang ini selesai, tiba-tiba, dunia jadi berubah rasanya. Ada begitu banyak emosi lain yang lupa gue rasakan. Kebaikan hati banyak orang yang terlewatkan. Tiba-tiba gue mengejar ketertinggalan, keterbelakangan mental gue selama dalam situasi itu. Ada sejumlah kegelisahan yang tiba-tiba menguap. Apa sih, yang harus gue khawatirkan? Apa sih maksud dari mencintai diri sendiri? Apa sih makna dari menyayangi orang-orang di sekitar lo? Belajar menjadi pendengar yang lebih baik. Belajar mengumpulkan kebahagiaan dari hal-hal sederhana, seperti bikin seorang temen bahagia udah didengarkan. Atau menikmati setiap momen yang bisa dinikmati, perjalanan Bremen-Hamburg dengan segelas kopi, novel dan playlist yang keren, cool egypt, jalan panjang dari city center ke rumah gue, hari-hari bermain dengan bu vita, aneta, alin, mbak dian, sambil ngobrol gak jelas, this thrilling feeling while writing. Oh my God. This ability to move forward is so rewarding!

Oya, bagaimana sebenernya perasaan cinta yang dulu itu selesai? Pertama yang pasti, gue minta sama Allah untuk disudahi kalau akhirnya buruk buat gue. Kedua, ada satu momen pencetus, dan bisa dialami beda-beda di tiap orang dimana tiba-tiba, perasaan sayang dan masih pengen balik itu tiba-tiba berubah 180 derajat, menjadi, yah awalnya, muak. Muak adalah titik ketika rasa sayang, semua perjuangan dan harapan tiba-tiba hilang. Dan tanpa lu sadari, hanya dalam beberapa waktu kemudian, yang bersisa adalah... indifferent. Gak berarti apa-apa lagi. Tiba-tiba lu bisa ngomongin, atau nulis kayak gini tanpa rasa beban, sedih, kemarahan dan luapan emosi lagi. Elu mengungkapkannya kembali hanya sebagai sekedar fakta yang elu tahu, yang seperti disebut di film-film, pelajaran buat diri lu.

Gue memang belum pernah ketemu orangnya lagi setelah kejadian yang dulu itu. Dan hal itu udah gak penting lagi, semua orang toh sudah menjalani hidupnya masing-masing (luar biasa sebetulnya bisa ngomong ini, kalau dibanding nangis durjana dua setengah tahun lalu! ;)). But I was just curious, what I will say. I would probably say thank you, thank you. Not in an ironic, or cynical kind of way. But honestly, I am so happy this day, that I also owe it to this old love story of mine, to help me understand this happiness I have right now.

If people ever wonder why God created us, this learning process that we experience during our lifetime, sure worth to be acknowledged by our souls.

Lega. :)

Tuesday, October 12, 2010

Why marriage.

I might sound sour by saying this. But really, you can't treat marriage as a competition. I have had this conversation with some really good friends who knows me and understand me well, so they know that it's not that I don't wanna be married, but it's just the fact of this road that I'm walking through is yet to have this special someone by my side.

And when I say that he's special, I mean it, with all my heart. The very reason I will say yes to that person, whoever he might be, would be based on the reason that he will fits me well. I can't really say it that well, but that's how I feel. It's not the most handsome, or the cleverest, or the richest, and all and all and all. Oh well, you fell in love with someone who makes you feel good, who makes you comfortable living under your own skin, whom you can have conversations which ends up after long abstract talk saying 'I understand what you mean'.

I mostly was joking around if I say 'So when's the date?' to a friend who already has a girl/boyfriend. But I always think that marriage is a big deal, which takes you into this moment of realization: I am absolutely ready to live by this particular man/woman. It takes that certainty.

Not because you're running out of time. Or the fact by the age of 60 you'd probably retired. Or maybe he's the best guy/girl in 'the market' and you might lose the chance. But you just find someone who cannot bore you in conversations, that you'd always come up with things to talk about, and if you need time to be just quiet sitting side by side, that's also fine. It's this similarity of emotion, of understanding each other's habits and fluctuations.

Oh well, it's just my ideal way in seeing life. People would say other things, of course ;)

*makes me really considering this simple, sacred wedding then big flashy ones -_-'

Monday, October 11, 2010

Efek Doa

Keinget tulisan tentang 'doa', tentang pendapat para kaskuser kalau susah nyari cewek yang dewasa, tentang perjalanan nun jauh ke desa nelayan kamis besok, tentang pulang ke Indonesia raya minggu besok, tentang perjalanan mencari seseorang yang akan bikin diri ini jadi versi terbaik dari diri sendiri...

I pray to God for making me strong
For not living me astray
That above all, despite all
doesn't He always stand by our sides?
Strengthen us when we're weak, reminded us when we're wrong?
What am I being fear about, when He is the one who holds my hand?

Nothing to fear about. Nothing at all.