Thursday, October 21, 2010

Kapan nikah? Kapan nikah? Kapan nikah?

Sejujurnya, ketika gue berusaha melihat posisi perempuan di mata budaya Indonesia sekarang, posisinya ya agak-agak serba salah juga ya? Gue entah kenapa merasa tumbuh dan terbiasa dengan kepercayaan bahwa seorang perempuan itu sudah diperjuangkan oleh para feminis untuk bisa memperoleh posisi yang lebih 'kuat' di masyarakat. Tapi gue juga percaya bahwa sebagai perempuan, dia juga memiliki 'hak' untuk membesarkan keluarga dan memberikan yang terbaik untuk keluarga yang dia cintai.

Gue percaya bahwa setiap orang punya hak untuk memilih, ingin jadi wanita karir, ingin jadi ibu rumah tangga, atau berusaha mengkompromikan antara keduanya. Dan udah banyak orang yang berusaha menjawab hal ini, bahkan menjalaninya, tapi bukan itu yang ingin gue sampaikan. Yang ingin gue sampaikan adalah, tentang pentingnya memiliki kesadaran untuk memilih.

Di dalam kebudayaan Indonesia, bahkan setelah 2-3 hari pulang pun, kesadaran untuk memilih memang bukan hal yang mudah, terutama ketika anak muda selalu dikelilingi dengan stigma harus menikah cepat (lebih awal lebih baik) dan bahwa perempuan itu gak perlu sekolah tinggi-tinggi atau kerja sukses-sukses, karena toh akhirnya menikah dan ada di 'balik' laki-laki. Ever since 3 years ago, I have never underestimate what marriage is, how tough it can be, how love can come and go (and apparently come back), and how huge the responsibility on being a parent is.

Ya, mungkin orang bisa mencibir gue bisa bilang begini karena gue masih single, tapi gue tetep merasa, untuk menikah itu pilihan (kita diskusikan ntar tentang masalah pilihan ini). Gue merasa bahwa setiap wanita butuh memperkaya dirinya sendiri untuk menjadi seorang wanita yang tegar, yang yakin akan keberadaannya di dunia itu adalah hal penting (bukan sombong, tapi menghargai diri sendiri), karena toh, dia harus menjadi mitra hidup laki-laki lain yang mudah-mudahan bukan orang sembarangan, toh?

Tumbuhnya karakter seseorang itu memang beragam caranya, dan pasti gak sama. Ada yang sekolah tinggi-tinggi, melihat dunia, bertemu beragam manusia, karakter, budaya, lalu ia mungkin bisa jadi manusia yang lebih baik. Ada yang harus mengalami rentetan ujian emosional dan belajar bangkit dalam proses perbaikan diri. Ada yang bekerja, mengenal karakter berbagai macam manusia, dan mengambil yang terbaik dari hal-hal yang dialami. Dan tidak menutup kemungkinan, menikah dan mengalami berbagai hal adalah proses pendewasaan dirinya.

Tapi gue ingin menekankan pentingnya proses pendewasaan pra-pernikahan. Pentingnya merasa nyaman hidup di bawah kulit sendiri tanpa harus mengubah hal-hal yang diharapkan oleh orang lain, tapi bukan murni keinginan diri sendiri. Seperti tuntutan untuk menikah hanya karena itulah (bagi sebagian orang) jalan terbaik untuk menjalani kehidupan. Jujur gue memang butuh disembuhkan dari skeptisisme gue tentang pernikahan, tapi gue percaya orang yang tepat akan membuat gue feel totally fine to walk with him in life, tapi itu akan merupakan keputusan yang diambil bukan karena 'sudah umur', 'belom tentu kesempatan lebih baik datang', atau karena semua tante yang lo punya, bahkan orang asing yang lo temuin di jalan, merasa lo setengah manusia hanya karena lo dah (cukup) berumur dan masih single! Seolah apapun pencapaian yang elu dapatkan sepanjang umur lo gak berarti apa-apa kalau lu single dan gak merasakan hidup berkeluarga.

Everyone of us, deserves to feel free, to feel that we make something in life. To know that we know who we are, what we want to do, and we try our best shot on them.

Untuk paragraf terakhir ini, gue terinsipirasi oleh banyak orang. Percakapan-percakapan yang gue lewati, pengalaman hidup yang gue lihat di manusia-manusia sekeliling gue, dll. Tapi menikah itu adalah karena lo menemukan orang yang bikin hati lo tenang. Karena lo menemukan orang yang bikin elu menjadi diri lu sendiri ketika dia ada. Yang menerima semua yang aneh, yang ajaib, yang normal, segala sesuatu yang ada di diri lu. Memang klise, tapi manusia terbaik untuk diri lu adalah yang bisa menerima lu apa adanya, vice versa. Dan orang bisa menikah untuk berbagai macam alasan lainnya, tapi semoga, ya Tuhanku sayang, kalau tiba waktunya buat gue, biarlah ini yang jadi alasannya. Dan biarkan ini juga jadi alasan buat dia. Let me choose to marry someone someday, just because nobody else in this world can be him. And let him choose me, because nobody else in this world can be me. Amin.


6 comments:

  1. ini gak terlalu bagus tulisannya sih con, agak2 ilang fokus. tapi makasih ya! :)

    ReplyDelete
  2. amiin... thanks ulfah...
    dan 2 jiwa yg menyatu itu terus tumbuh..

    ReplyDelete
  3. @ kak yuti: idem kak. bagian atasnya randomly written thoughts gitu yak. heran... -_-
    @ dali: hehehe... sama2... AMIIIN! ;)

    ReplyDelete