Saturday, October 2, 2010

Novel dan Atrikulasi Ide

A novel is an art of craftmanship. Ada banyak cara untuk menyampaikan ide dan khayalan yang elu kembangkan dalam pikiran, gimana membuat apa yang sebelumnya hanya ide jadi sesuatu yang bisa dideskripsikan dengan detail, believable, (sometimes) profound, dan membuat lo bisa melihat banyak hal dari sudut pandang yang berbeda.

Membaca novel pun adalah suatu proses. Lu mulai dari sesuatu yang mudah, atrikulasi ide-ide yang simpel dan gampang untuk dimengerti. Dulu gue sama adek gue suka baca buku-buku Enid Blyton di samping ratusan komik yang kita berdua punya ;) Buku-buku cerita yang simpel, tapi menstimulasi dan mengembangkan ide yang kita miliki. Membuka pemahaman baru atas hal-hal yang sebelumnya belum kita pahami.

I took it to the extreme. Waktu gue SMA, gue mulai suka belajar tentang ide-ide. Tentang sains, black hole, galaksi dan alam semesta, lalu muter balik ke arah bumi untuk belajar tentang Tao, sejarah dunia, sufisme, dsb. Waktu itu lagi masa-masa trend novel-novel islami. Dengan tawaran konsep yang berbeda tentang hubungan antar manusia. It was good, because I was living in a glass world in high school. I wasn't dealing with real life. With people being different.

And then, unprepared as I am, university happened. Exposure to differences, ideas, more polarized ideas... But I also found my oasis beneath that struggling. Unit gue di Salman dulu, Aksara. It was a time when I felt in love for real to novels. Awesome ones. Endless discussions on many stuff, try to rewrite other stuff, creatively creating ;)

Salah satu momen paling berharga adalah ketika baca beberapa buku berikut.
Sang Alkemis. Paulo Coelho.
My Name Is Red. Orhan Pamuk.
Misteri Soliter. Jostein Gaarder.
The Name of The Rose. Umberto Eco.
Ayat-ayat Cinta. Habiburrahman el (apa ya, lupa..).

Sang Alkemis adalah momen berharga, membantu gue untuk melihat dari perspektif berbeda. Kekuatan dari memiliki mimpi dan berjuang dalam mewujudkan mimpi. Ini didukung sama keberadaan Misteri Soliter. The wonderful world of phylosophy. Lalu ada The Name of The Rose, my first super lengthy novel. With extremely intricate details. Awful struggle on the first few chapters, but then it's worth ALL the fight. It's super enlightning, it helps you understand humor in a more profound way (SERIOUSLY!), suatu hari akan gue ulang bacanya :D Ayat-ayat cinta gue sebutkan juga karena perspektif gue berubah dua kali waktu baca itu. Mungkin karena pertama kali gue baca gue dalam proses jatuh cinta, jadi isinya terasa begitu sempurna dan mungkin. That such perfect guy exists. That no matter how strange a guy can behave (which correlates with his actual fatal flaw) you'll still be in love with him. Beberapa tahun kemudian ketika gue sudah selesai patah hati, perspektif gue ketika memahami buku ini sama sekali berbeda. Sampai gue pun memilih untuk gak nonton filmnya. :)

Tapi, untuk tema tulisan sekarang (which I took all around quite far already ;P) adalah konstruksi bahasa di My Name Is Red. Gue pernah mencoba baca sebelumnya, novel pemenang nobel lainnya, dan oh Mann, it was a terrible fight and I just can't get through. Dan gue membulatkan tekad, yang ini harus gue selesaikan apapun alasannya. Dan berjuanglah gue memahami alur, cara berbahasa, dan metafor yang dirajut begitu indah di dalamnya. Ketika selesai, gue terkesima bahwa manusia punya kemampuan berbahasa yang menakjubkan. Bahwa dunia kata-kata itu tidak sesimpel yang gue kira...

Buku ini jadi tonggak bersejarah, karena setelah itu, walau ada buku-buku lain yang sulit, tapi gue jadi menyadari banyak buku indah lainnya yang punya keindahan bahasa, ide yang sama sekali baru dalam perspektif gue, dan walaupun gak baru, rasanya menakjubkan karena ide tersebut bisa diungkapkan dalam kata-kata. Ketika sampai di Jerman, walau gue dulu baca beberapa novel dalam bahasa Inggris, gue jelas membutuhkan perjuangan tambahan untuk membuat diri gue pewe sama ritme bahasa yang berbeda. Nonton tv atau film jelas lebih mudah, tapi membaca novel?

Waktu itu gue inget ngebaca beberapa novel Jane Austen (yang toh gak ada terjemahannya dalam bahasa Indo), To Kill A Mockingbird, dan akhirnya ketemu sama beberapa novel paling mengena yang pernah gue baca. Home, Gilead, Catcher in the Rye, A Fraction of a Whole, dan setelah bertahun-tahun, Sophie's World jadi jauh lebih mudah dipahami... :))

It's not an end yet. Banyak rajutan bahasa lain yang ingin gue baca dan pahami. Kalau orang nanya jenis novel kesukaan gue, ya gue beneran bingung jawabnya. Gue gak bakal nolak dan pastinya gue suka novel misteri, terutama semua yang bu Agatha Christie tulis. Kadang gue suka novel-novel pop atau some very nice simple stories, Jodi Picoult, etc etc. Tapi ada beberapa novel yang kalau lu berhasil selesaikan, it'll take you to another level. And I'd challenge myself into those. My personal favorite are the ones who won or atleast got shortlisted for Booker, Orange, or some other writing prestigious awards. These people are real craftmen. They put words into meaningful and can even be profound stuff. You feel richer when you finish walking along these stories. You'd be glad to see this perspective ;)

My next ones in the list are (just because my other books are in boxes already):

We Need to Talk About Kevin
dan
We Need to Talk About Kelvin

One an orange winning fiction, the other is about popular science. We'll see ;)

2 comments:

  1. Salah satu momen paling berharga adalah ketika baca buku berikut:
    Ayat-ayat Cinta - Habiburrahman el Shirazy

    bener nih kamu jujur dengan pendapat itu? menurutku Ayat-ayat Cinta sangat melodramatik. aku pernah meresensi buku ini dan buatku kurang mengesankan. aku hanya terkesan bahwa buku ini jadi best seller gila-gilaan.

    ReplyDelete
  2. hehe... justru itu... waktu itu belajar betapa novel bisa di 'exaggerate' walau kontennya mungkin gak se-mengena seharusnya. bahwa orang banyak bisa menerima novel ini terlepas dari isinya yang dibuat agak berlebihan.. memang sih yah barangkali target pasarnya ya begitu. kayak serial twilight barangkali... :)

    ReplyDelete